ROH ABSOLUT
George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
By: Azmir Zahara[1]
George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) adalah
filsuf Jerman yang dikenal sebagai pendiri idealisme moderen. Pokok-pokok
pemikirannya sangat beragam dan mempengaruhi banyak filsuf sesudahnya, mulai
dari Karl Marx hingga mazhab Frankfurt dengan tokoh utama Theodor Adorno, Max
Horkheimer dan Herbert Marcuse.
Filsafat Hegel sering disebut sebagai puncak idealisme
Jerman. Filsafatnya banyak di inspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat
ilmunya ( filsafat dualisme), Kant melakukan pengkajian terhadap kebuntuan
perseteruan antara Empirisme dan Rasionalisme, keduanya bagi Kant
terlalu ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan. “Revolusi Kantian” kemudian
berhasil menemukan jalan keluarnya.
Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh
filsafat Kant tersebut kemudian menemukan jalan keluarnya melalui kontemplasi
yang terus menerus. Ketertarikan Hegel sejak awal pada metafisika,
meyakinkannya bahwa ada ketidak jelasan bagian dunia, bagi Bertrand Russell
pemikirannya kemudian merupakan Intelektualisasi dari wawasan metafisika.[2]
Pada garis besarnya sesuai dengan perkembangan Roh,
maka sistem filsafat Hegel dapat dibagi kepada tiga pokok utama:
Pertama,
tahap ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”, filsafat
yang membicarakan Roh dalam posisi semacam ini disebut dengan logika. Logika
yang memandang Roh yang memandang Roh dalam dirinya yang bebas dalam batas
ruang dan waktu.
Kedua, tahap
ketika Roh berada dalam keadaan “berbeda dengan dirinya sendiri”. Roh disini
sudah diluar dirinya atau terasing dari dirinya Hegel menyebut sebagai
pembahasan filsafat alam.
Ketiga,
tahap dimana Roh kembali pada dirinya sendiri, ringkasnya Roh berada dalam
keadaan “dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”, pembahasan ini disebut dengan
filsafat Roh.[3]
Fenomenologi Roh
Sebelum membahas tahapan diatas, penting kita membahas
sedikit karya termasyur Hegel yaitu Fenomenologi Roh. Dalam karyanya ini Hegel
menjelaskan bagaimana kesadaran manusia itu berkembang dalam proses dari
tahapan paling rendah ke tahapan yang paling tinggi.[4]
1.
Kesadaran: kepastian indrawi, bahwa kesadaran pada taraf yang
palih bawah adalah suatu pengindraan atas objek-objek khusus.
2.
Kesadaran diri: kesadaran diri yang paling rendah, yakni hasrat
(sikap penguasaan atau pemuasan kepentingannya). Kesadaran yang libih tinggi
adalah “ke-Kita-an” atau kesadaran sosial. Hegel menjelaskan bahwa ke-kita-an
ini dapat dicapai melalui kontradiksi.
3.
Rasio: pada tahap ini, kontradiksi diatas dapat diatasi
yang adalah sintesis antara kesadaran dan kesadaran diri, sehingga muncul
kesadaran universalitas.
4.
Roh: kesadaran itu (universalitas) tak lain dari pada Roh
itu sendiri yang sadar diri. Hegel menunjuk kesadaran moral yang tampil dalam
aneka insitusi sosial merupakan bentuk sintesis yang kurang sempurna.
5.
Religius
(agama): pada tahap ini sintesis itu
betul-betul dicapai. Dalam tahapan ini Roh Absolut mengenal dirinya dalm
beragama.
Logika (logik)
Logika yang dimaksud Hegel bukanlah logika yang
terpisah dari metafisika, tetapi sebuah metafisika. Disini Hegel memberikan
alasannya, yaitu Yang Absolut itu pikiran Absolut, maka ilmu tentang berpikir haruslah
ilmu tentang realitas atau Yang Absolut. Logika Hegel berusaha mempelajari
kategori-kategori ini dalam arti menjelaskan hakikat-hakikat pikiran Absolut
atau realitas yang terwujud dalam alam dan sejarah.[5]
Dalam menjelaskan logika, Hegel membaginya menjadi
empat tahap:
Pertama, katagori realitas disebut juga “logika ada”. Menurut
Hegel realitas adalah ada Absolut, namun ada jika ada sesuatu yang berlawanan
dengannya, yakni ketiadaaan. Disini ia memahami “ada” sebagai tesis dan
“ketiadaan” sebagai antitesis dan mencapai sintesis dalam menjadi. Hegel lalu
menyimpulkan bahwa ada adalah menjadi, maka Yang Absolut sebagai ada adalah
Yang Absolut sebagai menjadi. Dengan kata lain realitas itu adalah menjadi,
sebuah proses perkembangan dari realitas itu sendiri.
Kedua, katagori refleksi disebut juga logika hakikat.
Kesadaran roh yang dimana Roh mengenali dirinya sendiri yang menembus
penampakan indrawi. Misalnya katagori hakikat dan kategori daya, hakikat adalah
sesuatu dibelakang penampakan, sedangkan daya adalah ekspresi dari realitas.
Kategori-kategori lainnya adalah substansi, sebab, akibat, aksi, reaksi, dst. Menurut
Hegel pada gilirannya adalah kesadaran akan Yang Absolut sendiri sebagai
substansi dan sebab satu-satunya kenyataan.
Ketiga, logika konsep sebagai sintesis dari dua
kategori diatas. Ditahap ini katagori kenyataan dapat diperoleh melalui
intuitif sedangkan kategori kesadaran diperoleh melalui perantara pikirar.
Menurut hegel sintesisnya adalah kenyataan yang berpikir tanpa mediasi lain
kecuali dirinya sendiri.
Keempat, konsep sebagai relitas. Hegel memahami konsep
bukan sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran subjektif belaka, melainkan sebuah
realitas, yakni Yang Absolut sendiri. Untuk menjelaskan itu hegel menempuh tiga
langkah dialektis. Konsep pertama adalah subjektif sebagai tesis yang
dilanjutkan antitesisnya yaitu konsep sebagai objektivitas. Ketiga , terjadi
sintesis dari logika konsep ini, yakni antara subjektivitas dan objektivitas.
Kemudia memunculkan “idea” atau “logos” sebagai sintesisnya.
Filasafat alam
Dalam filsafat alam mempelajari Yang Absolut telah mengasingkan
diri dalam alam. Sehingga alam tidak lain dari pada alienasi diri. Alam adalah
roh absolute yang belum sadar diri, maka tak ada kebebasan dalam alam.
Alam merupakan tahap dalam kehidupan Yang Absolut
sendiri, yakni tahap eksternalitasnya. Disini Hegel mendapati maslah yang
mendasar. Disatu pihak Hegel tidak setuju kalau Alam disamakan dengan Allah
atau Yang Absolut, dan dipihak lain dari sudut idealistisnya alam objektif tak
terlepas dari Yang Absolut. Disini cukup ditunjukan bahwa kesulitan Hegel ini
bersumber dari pendirian idealistisnya bahwa yang rel itu rasional dan yang
rasional adalah real. Artinya, Alam bagaimanapun adalah ideal, tidak material.
Dan yang merupakan realitas yang sesungguhnya ada adalah yang ideal.
Filsafat Roh
Dalam Filsafat Roh mempelajari bagaimana Yang Absolut
mengenali dirinya kembali, menjadi sesuatu yang ada “pada dan bagi dirinya”.
Filsafat Roh dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama disebut Roh
Subjektif, dan dia juga membagi dalam tiga tahap. Tahap terendah adalah
peralihan dari Alam ke Roh. Peralihan itu terjadi pada jiwa manusia sebagai
subjek yang mengindrai. Tahap kedua adalah kesadaran diri. Tahap ketiga,
membicarakan mengenai pikiran subjrektif.[6]
Kedua, “Roh Objektif” yaitu Roh yang mengobjektifikasi
diri dalam kehidupan sosial. Hegel membagi tiga tahap: pertama, Hegel berbicara
mengenai “Hak” dalam kesadaran subjektif atau roh subjektif menyatakan dalam
hal-hal material. Lalu tahap ini dilanjutkan dengan sebuah alienasi dari hak
itu dalam kontrak. Didalam “kontrak” semua kesadaran dipersatukan. Kedua tahap
diatas lalu disintesiskan pada tahap ketiga, yaitu moralitas. Moralitas
bukanlah kesadaran akan kewajiban yang konkret, melainkan Hegel telah
mengabstraksikan menjadi kehendak bebas yang sadar pada dirinya sendiri, dari
keseluruhan kehidupan etis manusia yang bersifat subjektif dan objektif.
Kesatuan antara subjektivitas dengan objektivitas, hegel menyebut “die
Sttlichkeit” (kesusilaan).
Hegel menjelaskan bahwa kehidupan moral tampil dalam
substansi etis: keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Dalam Roh Objektif,
filsafat Hak menjadi filsafat politik. Ketiga substansi etis itu menjadi
sintesis antara subjektivitas dengan objektivitas yang sudah tercapai dalam
moralitas. Serta ketiga substansi etis berkembang dalam tiga tahap
institusional. Keluarga merupakan tahap terendah karena disitu anggota terikat
dengan emosi. Tahap ini akan terancam hancur ketika anak-anak menjadi dewasa
yang rasional, maka tahap berikutnya adalah masyarakat sipil yang tersusun dari
individu-individu yang mencapai tujuan sendiri-sendiri. Tahap ini pula akan
mengalami kehancuran karena masyarakat mengadakan institusional hukum. Dan
tahap selanjutnya sebagai sintesis adalah Negara.
Sejarah adalah proses yang dilalui Roh untuk menyadari
dirinya. Sehingga sejarah merupakan proses kemajuan kesadaran penuh dan
kebebasan. Dalam sistem filsafat Roh dari Hegel, sejarah mempunyai tempat
didalamnya. Didunia ini banyak terdapat Negara, maka diperlukan perjanjian
untuk mengaturnya dan jika perjanjian itu dilanggar, maka akan terjadi perang.
Hegel memberi nilai positif terhadap perang walaupun perang mengandung
ketidakadilan dan penderitaan, namun menurut Hegel perang merupakan keniscayaan
rasional. Dan menurut Hegel, perang
adalah keharusan rasional. Negara merupakan tahap dari yang disebut roh dunia,
interaksi dan kontradiksi-kontradiksi diantara Negara menghasilkan perang.
Hegel berpendapat perang disini justru akan mengerakan dialektika sejarah
menuju Roh dunia.
Tahap ketiga dari filsafat Roh adalah Roh Absolut. Dari
segi epistemologis, Roh Absolut adalah Roh pada taraf pengetahuan absolut yang
dijelaskan Hegel Fenomenologi Roh. Tetapi dari segi metafisis, Dia adalah Yang
Absolut sendiri. Jadi, bagi Hegel Yang Absolut adalah pengetahuan absolut.
Karena pengetahuan didasari oleh manusia, bukan berarti manusia adalah Absolut,
melainkan bahwa Yang Absolut itu menyadari dirinya sendiri sebagai Roh yang
memikirkan dirinya melalui roh manusia.[7] Individu
memiliki kesadaran yang berbeda dari kesadaran diri individu yang lain.
Kesadaran diri subjektif bukan Yang Absolut, melainkan berada dalam Yang
Absolut. Selama individu hanya menyadari dirinya sendiri maka dia belum
memiliki pengetahuan Absolut itu. Pengetahuan Absolut dapat dicapai melalui
sejarah pemikiran menjadi sadar diri, akan tetapi sejarah dilalui banyak
kontradiksi-kontradiksi. Ada konfik antar Negara yang diakhiri perang sebelum
menuju ke Roh Dunia. Dalam Roh Dunia , Roh Absolut atau Pengetahuan Absolut
terjadi antara subjektivitas dan objektivitas pada taraf yang luhur yaitu
“Identitas Absolut” menurut Schelling.
Dalam pandangan Hegel, seluruh
kenyataan merupakan suatu kejadian dan kejadian itu merupakan kejadian Roh. Dan
Roh itu adalah “itu Dia yang Absolut atau Allah. Menurut Hegel, Roh sebagai
realitas Absolut sesungguhnya merupakan suatu ide yang melewati alam. Sekadar
untuk diketahui bahwa dalam memahami alam, Hegel berbeda dengan Spinoza.
Spinoza memahami alam sebagai satu Substansi yang memiliki satu kesatuan,
sedangkan Hegel memahami alam sebagai satu tahap dalam kejadian Roh Absolut.
Oleh karena itu, Hegel mengajukan bahwa dalam Roh mutlak itu terdapat Roh
subyektif, yaitu subyek yang memiliki kesadran terhadap dirinya sendiri. Apa
yang disebut sebagai Roh subyektif ini mengalami suatu perubahan menjadi Roh
obyektif yang menciptakan suatu gambaran tentang hukum, moral, dan lain
sebagainya. Karena Roh ini mengalami perubahan, maka puncak dari perkembangan
Roh ini adalah Roh Absolut sebagai realitas yang
sempurna. Di dalam Roh yang Aboslut ini, terkandung seni, agama, dan filsafat
yang memiliki realitas Absolut atau Yang Tak Terhingga sebagai obyek
perefleksiannya. Ketiganya merefleksikan yang Absolut itu dalam cara pandang
yang berbeda-beda. Misalnya: seni memahami yang Absolut melalui pengamatan
inderawi, yaitu melalui lukisan-lukisan. Melalui keindahan sebuah karya seni,
Hegel melihat bahwa manusia dapat menunjukkan kemampuannya untuk memahami
keindahan alam yang merupakan kesaksian sempurna terhadap fakta bahwa manusia
dapat mengintuisi keindahan. Namun, alam hanyalah sebagai simbol yang ada dalam
pikiran manusia, karena ada yang lebih indah dari alam, yaitu Allah sebagai
realitas murni yang tak terbagi. Demikian juga agama mamahami Yang Absolut
dalam imajinasi, yaitu melalui refleksi atau permenungan sehari-hari. Sedangkan
filsafat memahami Yang absolut melalui rasionalitas atau pencarian akal budi
manusia. Kendatipun ketiga unsur ini memiliki cara tersendiri untuk memahami Yang
Absolut itu, namun mereka mempunyai obyek pengamatan yang sama, yaitu Allah
sebagai realitas murni, tunggal, utuh dan tak terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Pustaka
Sastra LKiS, Yogyakarta, 2004
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka
Pelajar, 2004
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli
sampai Nietzsche, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
[1] DPP KPC Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia
[2] Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002) hal. 591
[3] Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Kalr Marx (Yogyakarta, PT LKiS Pelangi Aksara, 2004) cetakan IV, hlm 55-56.
[4] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, PT. Gramedia, 2004) hlm, 182.
[5] Ibid. Hlm. 186
[6] Ibid. 190.
[7] Ibid. 192-193.
Amirev
Ide-Ide Adalah Cerminan Materi Dalam Otak.
Otak manusia merupakan materi, yakni suatu organisme sistem urat syaraf tertinggi yang dimiliki manusia dan mempunyai kemampuan merefleksikan segala sesuatu dalam relasi antara subjek (manusia) dan objek (alam material). Artinya, kelahiran ide senantiasa ditentukan oleh materi, sebagai hasil hubungan langsung antara manusia dengan dunia materi dan diolah oleh otak yang diterjemahkan dalam bentuk fikiran-fikiran.
Dengan demikian, lahirnya sebuah ide senantiasa didahului oleh kegiatan hidup praktis di alam materi. sebagaimana contoh, seorang berpikir bahwa cabe itu pedas adalah karena ia mengecap dan merasakan sebiji cabe sebagai suatu praktek pembuktian bahwa cabe itu pedas. proses ini melibatkan manusia dan sistem inderawinya dan sebuah cabe. Selanjutnya memory yang tersimpan dalam otak akan selalu merekam bahwa cabe itu pedas. Bilamana otak si kawan itu berpikir dialektis, ia akan mampu mensiasati rasa pedas cabe dengan unsur lainnya, sehingga cabe bisa diproses dalam berbagai rupa kombinasi unsur dan menjadi sambal yang lezat, misalnya.
Akal saja belum cukup untuk mewujudkan ilmu pengetahuan. Seharusnya akal itu bersandar kepada fakta-fakta, yakni kepada kenyataan-kenyataan atau kejadian-kejadian yang ada di luar kita. Fakta-fakta inilah yang harus menentukan apakah cara kerja akal kita betul atau salah, yang harus membuktikan bahwa akal kita tidak hanya bekerja dengan sembarang saja.
Maka jelaslah ilmu pengetahuan atau teori pengetahuan muncul bukan dari ruang yang kosong tapi melainkan muncul dari pengalaman praktek atau kerja manusia. Bisa dikatakan materi (segala sesuatu yang terhampar secara nyata (material) dalam realitas alam semesta) adalah ojek kajian yang dipratekkan atau dikerjakan.
Proses Ilmu Pengetahuan
Permulaan ilmu pengetahuan dapat disusur sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia dan lambat laun manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan sebab-musababnya.
Titik tolak ilmu pada tahap yang paling awal pengetahuan adalah pengalaman, apakah itu hujan angin, badai salju atau gejala-gejala yang terlihat sehari-hari. Contoh konkrit ketika datang hujan maka manusia purba mencari tempat yang aman dari hujan yaitu gua, karena gelap maka membuat rumah seperti gua yang terdapat atap dan begitu seterusnya secara dialektika. Bentuk pratek dari hal itu memunculkan teori-teori dalam pembuatan rumah.
Beberapa pengalaman pratek filosof alam yunani kuno mengenai materi yaitu Thales (640-550 M) bahwa segala sesuatu adalah air, semua berawal pada air dan berakhir pada air. Anaximenes (588-542 M) asal mula penjelmaan adalah udara. Pokok pikiran ini diacukan pada kenyataan bahwa udara adalah nafas; roh dunia, udara adalah dasar kehidupan. Serta Demokritos dengan ajarannya bertumpu pada atom. Pokok pikirannya yaitu segala sesuatu yang ada terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat terbagi-bagi (atom). Namun betapa klasiknya pandangan filosof tersebut untuk zaman ini, tak bisa diingkari bahwa mereka telah membuka jalan dan memberikan sumbangan bagi perintisan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Praktek Memunjulkan Teori
Praktek dan teori walau tidak bisa dipisahkan, namun praktek adalah eksistensi manusia. Praktek revolusioner membutuhkan teori revolusioner namun disisi lain praktek revolusioner akan menghasilkan teori yang revolusioner. Ini menempatkan bahwa praktek adalah suatu bentuk konkrit dari sejarah kehudupan manusia.
Kerja/praktek
teori
Kerja/praktek
Kemampuan orang bukan sekedar melanjutkan sejarah, akan tetapi juga harus menciptakan sejarah dengan praktek. Kenyataan yang paling penting adalah bahwa dalam proses itu, atau dalam pratek sosial, pertemuan itu selalu berupa konflik dan itu dapat ditemukan pada semua lapangan kehidupan mulai dari ekonomi, politik atau kebudayaan.
Proses produksi
Produksi adalah ‘tindakan sejarah pertama’; dan ‘produksi kehidupan material adalah syarat dasar dari semua sejarah, yang – seperti ribuan tahun lampau—harus dipenuhi tiap jam, tiap hari, tiap minggu dan seterusnya guna menopang kehidupan manusia. Konsepsi kelas lahir sebagai keniscayaan derivatif pembagian produksi dalam masyarakat yang sesuai dengan watak produksinya. Praktek manusia dalam mencukupi kebutuhannya yang terus berkembang dan menghasilkan suatu teori atau ilmu pengetahuan. Faktor produk pada perkembangan masyarakat kapitalisme akan mencerminkan sesuatu yang kapitalisti. Contoh prodak yang dihasilkan oleh produksi kapitalis adalah pasar bebas, pendidikan sebagai sektor jasa, eksploitasi, akumulasi dan ekspansi.
Perjuangan kelas
Kelas Buruh dan sekutunya petani sebagai korban dari kapitalisme tentu tidak akan diam saja, namun mereka akan melawan. Praktek manusia dalam merubah tatanan masyarakat, menghasilkan ilmu pengetahuan sosial. Kita sebagai mahasiswa sebagai kelas Borjuis kecil pun harus mempunyai keperpihakan terhadap kelas yang tertindas. Sehingga perjuangan kelas adalah praktek nyata yang harus dilakukan.
Dalam mensistematiskan kerja dan praktek dan membuktikan kebenaran suatu teori maka dibutuhkan langkah-lahkah seperti:
1. Pengamatan (observasi)
2. Percobaan (eksperimen)
3. Pencatatan,
4. Perenungan,dan
5. Penyimpulan
MOHAMMED ARKOUN
A. Pendahuluan
Mohammed Arkoun lahir 1 Februari 1928 di
Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan yang
berpenduduk Barber, terletak di sebalah timur Aljir. Berber adalah penduduk
yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa
non-Arab.
Setelah Aljazair ditaklukkan bangsa Arab
tahun 682, pada masa Kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak
penduduk yang memneluk Islam. Beberapa bahkan menjadi pasukan tempur penaklukan
Spanyol di bawah Toriq bin Ziyad. Gerakan Islam di Kabilia ini juga diwarnai
nuansa sufisme. Mahdi bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad ke-12
menggqabungkan ortodoksi Asy'arisme dengan sufisme. Ibnu Arabi, mahaguru sufi
itu bahkan pernah berguru di daerah ini, pada Abu Madyan. Di situ berkembang
tarekat Syaziliah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyah, dan lainnya.
Dalam lingkungan yang sarat dengan sufisme
dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan. Kehidupan Arkoun yang mengenal
berbagai tradisi kebudayaan ini merupakan faktor penting perkembangan pemikiran
Arkoun. Ia secara intens akrab dengan tiga bahasa, Kabilia sebagai bahasa
sehari-hari, untuk mengungkap tradisi Kabilia, Arab sebagai pengantar keagamaan
dan kegiatan komunikasi di masjid, juga penghubung Aljazair dengan dunia Islam
Timur Tengah, dan bahasa Prancis sebagai bahasa sekolah, juga pengantar untuk
memahami problematika pemikiran ilmiah modern. Tiga bahasa itu juga mewakili
cara berpikir dan memahami kompleksitas masyarakat di sana.
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun
melanjutkan SMP ke kota pelabuhan Oran, kota Aljazair di bagian barat. Sejak
1950-1954, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, sambil
mengajar di sebuah sekolah SMU di al-Harrach, pinggiran kota Aljazair. Tahun
1954, ia menjadi mahasiswa di Paris. 1961, ia menjadi dosen di Universitas
Sorbonne di Paris, dan meraih gelar doktor sastra tahun 1969. Sejak 1970 sampai
1972, ia mengajar di Universitas Lyon, dan kembali ke Sorbonne sebagai mahaguru
sejarah pemikiran Islam.[1]
Arkoun juga menjabat direktur ilmiah studi
Islam terkenal, Arabica, juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia
nasional untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan, Kehidupan dan Kedokteran. Belakangan
ia menjabat sebagai direktur Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas
Sorbonne Nouvelle (Paris III).
Ia juga pernah menjadi dosen tamu di
University of California di Los Angeles, Princeton University, Temple
University di Philadelphia, Lembaga Kepausan untuk studi Arab dan Islam di
Roma, dan Universitas Katolik Louvain-Neuve di Belgia. Ia pun sempat menjadi
mahaguru tamu di Universitas Amsterdam.[2]
Jabatan dan karier di atas menunjukkan
posisi Arkoun yang tinggi untuk kualitasnya dalam sejarah pemikiran dan tafsir
Islam.
Secara cemerlang Arkoun mengakui dirinya
sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan
pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran,
sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah
mendapatkan data objekatif, bisa mengolah data itu dengan memakai analisa
filosofis. Proyek utama pemikiran Arkoun adalah "kritik atas nalar
Islam". Ia menerbitkan penelaahan itu dalam buku yang luar biasa, Pour
de la raison islamigue. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab menjadi al-fikri al-Arabiy al-Islami, Sejarah Pemikiran Arab-Islam.
B. Kritik Atas
Nalar Islam
Arkoun bisa dikatakan sebagai Kantian atau seorang rasionalis tulen,
itu disebabkan kritik Arkoun tidak terlepas dari presenden-presenden filsafat
yang dipengaruhi oleh Immanuel Kant sebagai tonggak penting dalam pemikiran
Eropa melalui bukunya, Critique of Pure Reason dan Critique of Practical
Reason. Secara cemerlang
Arkoun mengakui dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali
asal-usul dan perkembangan pemikiran, sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan
sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data objekatif, bisa mengolah data
itu dengan memakai analisa filosofis. Proyek utama pemikiran Arkoun adalah
"kritik atas nalar Islam".
Pendapat
Arkoun yang kontroversial adalah ketika ia mengatakan bahwa dalam khazanah
tafsif Islam dengan segala macam mazhab serta aliran, sesungguhnya al-Qur’an
hanya merupakan “alat” untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi
kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya al-Qur’an itu
sendiri. Semua tafsif itu ada dengan sendirinya, dan untuk dirinya sendiri[3].
Tafsir-tafsir tersebut merupakan karya intelektual dan produk budaya yang lebih
terkait dengan kontek kultural yang melatarbelakanginya, dengan lingkungan
sosial atau aliran teologi yang menjadi “payungnya” daripada dengan kontek
al-Qur’an itu sendiri. Menurut Arkoun, inilah yang sering memperumit relasi
antara teks pertama (al-Qur’an) yang hendak dipahami dengan seluruh tafsir yang
lahir sesudahnya, sebagai respon terhadap kebutuhan-kebutuhan ideologis yang
menyertai hampir secara niscaya setiap generasi umat Islam. Pola relasi yang
terus-menerus (Ada teks pertama , lalu komentar, lalu komentar atas komentar) yang
tidak ada habisnya, maka harus ada penyusunan kembali terhadapnya dengan cara
menuliskan kembali sejarahnya secara jernih dan kritis.
Akal
bedrsifat plural, sebab setiap mazhab atau aliran melandaskan diri pada
sejumlah aksioma dan refrensi kultural. Sedang akal Islam, selalu merujuk pada
pokok-pokok dan otoritas yang sama. Akal Islam yang plural yaitu akal sufi,
akal tasawuf, akal filsuf, akal Syiah, akal Hambali, dsb. Setidaknya ada 3
unsur yang memberi kemungkinan untuk berbicara mengenai adanya “akal Islam”
yang tunggal. Pertama, ketundukan akal-akal pada wahyu yang turun dari
langit. Kedua, penghormatan terhadap otoritas dan keagungan serta
ketaatan akal-akal islam kepadanya. Ketiga, akal memainkan perannya
melalui suatu cara pandang tertentu (khas abad pertengahan) terhadap semesta.
Untuk
memecahkan masalah ini, Arkoun melakukan kritik atas “nalar Islam” dengan
menggunakan dua tahap dalam metodologinya. Pertama, tahap historis atau
klarifikasi historis. Kedua, tahap filosofis atau tahap penelitian
menyeluruh. Menurut Arkoun, tugas sejarah adalah melakukan kerja kritis
terhadap seluruh data, materi, dokumen tafsir dan penggunaan (secara ideologis
terhadap teks pertama), harus dijelaskan seperti apa adanya melalui metode
sejarah-sejarah modern. Tugas sejarah juga mengungkapkan fakta secara
menyeluruh. Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya arkeolog, ia
menggali seluruh lapisan geologis pemikiran Arab-Islam, dengan pisau episteme
Michael Foucoult, dan membagi tingkatan Arab-Islam klasik, skolasti, dan modern[4].
Sedangkjan tugas filsafat adalah melakukan kritik epistemologis terhadap
seluruh data tersebut dengan “memeras” kesimpulan-kesimpulan umum dari kerja
kesejarahan serta hasil-hasil empiris yang ditemukan.
Selanjutnya,
menurut Arkoun, akal hanyalah merrupakan salah swatu kualitas dari sekian
kualitas yang dimiliki oleh pemikir. Arkoun lebih suka dengan kata pikir dari
pada kata akal, sebab kata pikir mempunyai pengertian yang luas. Kata pikir
mengandung tiga unsur pengertian. Pertama, akal itu sendiri yang lebih
banyak bekerja dalam setiap produk keilmuan dan kebudayaan. Kedua,
imajinasi. Ketiga, memori.
C. Penutup
Pada
kenyataannya, Arkoun menegaskan akal bukan bukan suatu yang abstrak, akan
tetapi konkret dan mempunyai kerangka tertentu. Akal-akal itu mempunyai kaitan
erat dengan tahapan tertentu dalam sejarah.akal berhubungan dengan lingkungan,
masyarakat dan situasi perkembangan dari lembaga-lembaga kebudayaan dan
pengetahuan yang sedang dominan pada masa pemikir yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, untuk memahami akal-filologis-historis, maka umat Islam seharusnya lebih akrab
dengan kata historigrafi atau ilmu tentang sejarah, yang sebelumnya hanya
dianggap sebagai “kemewahan inteltual” baru yang belum masuk dalam lingkungan
mereka.
D. Daftar Pustaka
Listiono Santosa, Sunarto, dkk, Epistemologi
Kiri,AR-RUZZ, Yogyakarta 2006
M. Arkoun, Louis Garnet, Islam Kemarin dan Hari Esok, Pustaka, Bandung, 1997